Rabu, 11 September 2013

Surat Ketiga Untuk Kamu

Sekarang pukul setengah delapan malam, udara di luar begitu dingin masuk melalui ventilasi kamar kostku.  Sejak tadi aku terpekur di sudut tempat tidur tidak ada yang dikerjakan, hanya duduk sambil mendengarkan beberapa lagu. Aku mengaku, aku sedang mendengarkan lagumu. Aku tidak tahu bahwa aku masih menyimpan lagu – lagumu itu, setelah mengacak lagu – lagu di leptopku lagumu itu ada di daftar lagu – lagu lama yang ingin aku hapus, tapi tidak untuk lagumu. Aku masih ingin menyimpannya. Kenangan kita dulu.

Sejak tadi aku memutar ulang lagu – lagu itu, lagu yang dulu pernah kau nyanyikan jika aku sedang bosan atau jika ku sedang marah padamu. Dengan santai kau memetik gitar kesayanganmu itu sambil menyanyikan sebuah lagu yang kau pernah bilang bahwa lagu itu kau ciptakan untukku. Aku sangat menyukai lagu itu. Benar, romantis. Perlahan aku menunjukkan sebuah senyuman lebar dan memintamu melanjutkan lagu itu dan kita bernyanyi bersama. Kau tahu, aku selalu malu jika kita bernyanyi bersama. Suaraku tidak sebagus suaramu. Tapi kau tetap memaksanya, kau bilang kalau kau dan bandmu itu suatu saat menjadi terkenal aku bangga karena pernah berduet dengan vokalisnya.

Jadi, kau sedang apa sekarang? Biasanya kau sedang menyanyi sambil memetik gitar di halaman rumahmu. Dan aku bisa mendengarnya dari rumahku. Kau pernah bilang bahwa jika kau bernyanyi dengan suara kerasmu itu kau ingin aku mendengarkannya bahwa kau sedang rindu. Kau bisa saja datang ke rumahku yang hanya beberapa langkah dari rumahmu, tapi kau tidak mau melakukannya karena kau tidak ingin mengganggu waktu belajarku. 

Aku masih ingat saat hari ulang tahunmu. Malamnya kau harus tampil di salah suatu acara. Kau mengajakku untuk menemanimu, dan setelahnya kita merayakan ulang tahunmu bersama. Tapi aku menolak. Kau marah padaku dan enggan mendengarkan alasanku. Aku biarkan saja, padahal aku sudah menyiapkan sebuah kejutan untukmu saat itu. Kau yang tidak menyangka akan diberi kejutan sangat kaget. Aku masih bisa menggambarkan ekspresimu saat itu. Aku masih ingat. Mungkin saat itu kau terlalu merasa bahagia sampai akhirnya kau menangis.

Aku masih ingat dengan jelas hal – hal menyenangkan dulu. Hal – hal yang mungkin sudah kau lupakan. Entahlah, aku tidak tahu perasaanmu saat ini. Tapi perasaanku tetap seperti yang dulu kepadamu. Dari jarak ratusan kilometer ini pun, aku masih diam-diam memperhatikanmu dari dunia maya. Iya, masih. Dan kau jelas tidak tahu. Dan sekali lagi hanya bisa menulis sebuah surat konyol, surat yang tidak akan pernah sampai padamu. Tapi aku senang melakukannya.

Aku masih berharap suatu saat, kau akan melihatku. Takdirmu.

Minggu, 08 September 2013

Untuk Penyebab Senyumku, Kamu.

Untuk penyebab senyumku,

Ada sejuta alasan mengapa aku begitu memujamu. Ketika kita saling menatap untuk pertama kali, waktu seakan berhenti. Sorot matamu itu tidak sederhana.  Aku merasa semesta memberikan senyum terbaiknya, menggetarkan jantung.  Untuk kita.


Untuk penyebab senyumku,

Kamu selalu menggoda hatiku untuk terus berbicara tentang cinta. Walaupun sebelumnya cinta membuatku begitu keras terhempas. Namun sekali lagi cinta datang tanpa pernah kuduga, menyusup perlahan dalam hati yang tengah rapuh. Memberikan penawar ajaibnya. Kamu.


Untuk penyebab senyumku,

Bahagiaku sesederhana itu. Sesederhana aku menghabiskan waktu duduk bersamamu, melihat senja. Menghabiskan waktu mengitari kota tanpa arah dan tujuan, bersama. Menikmati tiap detak sang waktu yang terus berlalu.  Aku menikmatinya dan tersenyum diam – diam ketika mengingatnya. Bukankah tanda-tandanya sudah jelas? Aku telah jatuh cinta, Kepadamu.


Untuk penyebab senyumku,

Semua ini masih tentangmu. Dalam semua pagi ketika terbangun aku masih bisa mendengar suaramu, meskipun dari jarak jauh. Semua siang yang kuhabiskan dengan tidak bosan mengeja namamu dalam rindu. Semua malam yang kututup dengan selalu berucap harap demi kebersamaan hingga waktu berhenti berdetak dan kita kembali kepelukanNya. 

Untuk penyebab senyumku,

Dengan benar aku menuliskan namamu disini. Di hatiku. Aku mencintaimu. Tanpa koma.
 

 

Jumat, 06 September 2013

Kamu Sudah Memilih






Hidup ini sebenarnya indah. Aku percaya pada adanya bermacam-macam ujian dalam hidup merupakan sebuah kebahagiaan yang tertunda. Kamu akan diuji seberapa tegar perasaanmu sebelum kamu dianugerahi kebahagiaan yang mungkin lebih dari apa yang kamu harapkan. Kita hanyalah manusia biasa yang serba terbatas tidak tahu seperti apa hidup ke depannya. Kita hanya bisa menyiapkan diri untuk menghadapi kejutan - kejutan tak terduga di dalamnya. Kejutan yang kadang tidak bersahabat denganmu dan seringkali dipenuhi airmata dan rasa sakit. Tapi sekali lagi, kejutan itu hanyalah jalan menuju sebuah kebahagiaan yang sebenarnya. 

Aku (harus) percaya itu. Jujur itu adalah salah satu alasan untukku bisa bangkit dari rasa sakit ini. Rasa sakit yang tercipta ketika kamu memutuskan untuk pergi. Mengakhiri segala rencana yang sudah tersusun sempurna. Pernikahan. Entah bagaimana lagi aku bisa menjelaskan rasa yang hadir saat ini ketika kamu memutuskan untuk pergi dan aku tak punya kekuatan lagi untuk tetap menahanmu bersamaku.

***
“ Maafkan aku.  Aku ingin pesta pernikahan kita dibatalkan.” Kamu menggenggam tanganku dan menatap jauh ke dalam mataku mungkin berusaha mencari ketegaran di sana.

“Maksudmu apa?”

“Maaf aku tidak bisa lagi melanjutkan hubungan kita”

“ Kamu menyuruhku datang ke tempat ini hanya untuk membuatku hancur?” Suaraku agak bergetar menahan emosi. Ini sungguh terdengar aneh bagiku, bagaimana mungkin rencana pernikahan yang telah kami atur dengan sempurna berbulan – bulan ini bisa hancur dalam beberapa detik saja.

“Maafkan aku, ini diluar prediksiku.  Percayalah kamu akan mendapatkan yang jauh lebih baik dari pada aku. Tulang rusuk dan pemiliknya tidak akan pernah tertukar.”

“Aku sungguh tidak mengerti apa yang kamu inginkan”

“ Aku sudah menemukan tulang rusukku yang hilang, dan itu bukan kamu. Aku benar-benar tidak berniat membuatmu kecewa”

 “ Kamu egois. Semudah itu kamu mengakhiri segalanya. Empat hari lagi kita akan menikah bagaimana dengan undangan yang sudah tersebar dan  juga dengan keluargaku?  Dengar ini bukan hanya antara aku dan kamu saja, tapi ini juga antara keluargaku dan juga keluargamu. Apa kamu tidak memikirkan perasaan kami?“ Aku tidak bisa menahan lagi emosiku. Airmata yang sejak tadi kutahan akhirnya tumpah juga.

“Maafkan aku. Aku tidak ingin menyakitimu. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita kalau rasa cintaku padamu tak sebesar dulu lagi. Aku tidak tahu, perlahan rasa cinta itu kian memudar.  Dan aku tidak bisa menolak hadirnya cinta lain yang melebihi rasa cintaku padamu”.

Kamu memelukku lama. Seolah dengan sebuah pelukanmu itu semuanya akan baik-baik saja.  Rasa sakit ini tidak akan pernah kamu mengerti . Entah, aku belum bisa menemukan kata – kata yang tepat untuk menjelaskan perasaanku.  Mungkin hanya lewat airmata ini yang sedikit bisa melegakan rasa sesak yang sudah memenuhi sudut hati. Aku berusaha tegar dan memang harus seperti itu. Untuk apa berlarut – larut dalam kesedihan untuk seseorang yang cintanya saja telah hilang untukmu.

“ Jalani saja apa yang menurutmu benar, dan perjuangkan apa yang patut diperjuangkan. Aku tak punya kendali atas rasamu. Ini mungkin adalah salah satu takdirku, takdir yang membuatku dalam beberapa waktu ini merasa luar biasa bahagia bersamamu, tapi dalam beberapa detik saja mampu membuatku begitu hancur. Demi Tuhan, aku akan belajar mengikhlaskanmu. Aku akan belajar melepaskanmu secepat kamu melepasku”.

Aku meninggalkanmu begitu saja tanpa pernah ingin menengok kembali ke belakang.  Aku harus melupakanmu dan semua kenangan antara kita. Meski aku rasa sangat indah dan bermakna tapi sudah saatnya dilupakan. Aku harus terbiasa tanpa kamu. Sekarang dan untuk seterusnya. Kamu sudah menemukan tulang rusukmu jadi, selamat berbahagia.