Aku berjalan gontai ke arah kamarku, kejadian di
toko buku tadi sangat mengguncang batinku. Ah! Aku tidak mau memikirkannya
lagi! Kenapa sifat pelupaku tidak bekerja pada saat yang tepat, misalnya
seperti sekarang ini, aku membatin dalam hati.
Aku menjatuhkan tubuhku pada tempat tidurku yang
empuk. Nyaman sekali rasanya. Andai saja rasa nyaman ini bisa membuatku lupa
pada hal – hal yang membuat dadaku sesak, tetapi otakku terus memutar ulang
kejadian di toko buku tadi tanpa kusuruh. Sungguh tidak berprikemanusiaan,
umpatku dalam hati.
Beberapa
jam sebelumnya.
Sepulang kuliah sore itu aku memutuskan untuk mampir
ke sebuah toko buku sekedar untuk melihat – lihat novel bestseller terbaru kali
aja ada yang bikin aku tertarik. Aku mengendarai Honda Jazz-ku dengan santai,
keadaan lalu lintas sore ini sangat padat seperti biasanya. Setengah jam
kemudian aku sudah memasuki area parkir
toko buku itu, area parkir itu tampak penuh sore ini aku kemudian mencari
tempat kosong untuk memarkir jazz biruku.
Aku memasuki toko buku itu melewati deretan rak
komik terbaru, kemudian menuju rak novel bestseller. Aku keasyikan membaca
sinopsis sampai aku tidak menyadari ada seseorang memanggil di belakangku.
“ Dista yaa?” suara di belakangku terdengar ragu sambil
melangkah mendekatiku seraya menyentuh pundakku pelan.
Aku menengok ke belakangku, ternyata sahabat lamaku
Nuri. Refleks aku menjerit agak keras sampai orang – orang di sekitarku melihat
ke arahku dengan pandangan tidak suka tentu saja. Tapi aku tidak peduli.
“ baru nongolin muka sekarang, kemana aja kamu?” aku
masih dengan jeritanku dan tentu saja kali ini dengan suara pelan agar tidak
mendapat tatapan menerkam dari sekelilingku.
“ kangen yaa sama aku? Hahaaa, maav ya Dis, hapeku
ilang nomermu juga ikutan ilang deh”
katanya sedih.
“ turut prihatin deh, makanya nomerku di hafal donk,
kebiasaan burukmu nggak ilang – ilang..”
Aku mengeluarkan hp ku dari dalam tas ranselku,
mencatat nomer Nuri lalu melakukan missed
call.
“ itu nomerku, di save yaa..”
“ beres nih.udah..”
Kami melanjutkan obrolan disebuah sudut ruangan yang
terdapat sebuah kursi panjang, sekelilingnya terlihat sepi kami bebas tertawa
dan mengobrol apa saja tanpa ada yang terganggu.
“ tunangan? Ketemu – ketemu, aku udah langsung
denger berita ini. Sama siapa dikenalin donk “ aku merajuk. Hampir 2 tahun aku
tidak bertemu dengan sahabatku sewaktu sma ini. Tentu kaget mendengarnya mau
bertunangan, tapi aku ikut berbahagia juga melihatnya senang seperti ini.
“ kamu kenal kok, Dis.. “ katanya malu – malu sambil
menunduk.
Aku ingin bertanya lebih lanjut ketika sebuah suara
berat (lagi – lagi di belakangku) mengejutkanku. Aku merasa sangat mengenal
suara itu tapi panggilannya tertuju pada sahabatku, bukan padaku.
“ ehh Sayank, maav yaa aku keasyikan ngbrol sama
Dista soalnya udah lama gk ketemu “ kata Nuri sambil bangkit dari tempat
duduknya menghampiri cowok di belakangku yang memanggilnya tadi.
Aku menoleh ke belakang. Aku terperanjat. Sosok di
depanku sama kagetnya juga denganku. Aku melihat Nuri bergelayut manja dilengan
kiri cowok itu, ohh please God, jangan bilang cowok itu..
“ Dista, inii nih calon tunanganku. Ardy. Masih
ingat kan? Aku baru pacaran sekitar 6 bulan dengan dia, dikenalin kakakku waktu
aku nonton Ardy manggung di salah satu cafe. Dia ternyata temannya kakakku.
Emang sih pacarannya baru sebentar tapi kami lalu memutuskan untuk bertunangan
dan blaa....blaaa.blaaa....”
Aku tidak memperdulikan lagi ocehan Nuri. Aku
terlalu sibuk dengan kenyataan yang mengejutkanku. Pertanyaan – pertanyaan yang
minta untuk segera di jawab dalam otakku membuatku tambah muak. Bagaimana bisa
aku menjawabnya hey otak.mengertilah. jangan membuatku tambah sesak!
Aku mencoba memaksakan seulas senyumku pada mereka.
Sangat terpaksa. Bagaimana bisa kamu tersenyum
dengan tulus tanpa paksaan ditengah suasana hatimu yang sedang kacau seperti
ini?! Aku mendesah. Aku menarik napas panjang lalu menghembuskannya pelan. Agak
sedikit lebih baik.
“ selamat ya, aku turut berbahagia “ kataku kali ini
dengan tulus.
“ thanks ya, Dis.. senang ketemu kamu lagi. Apa
kabar kamu? “ tanya Ardy, seraya mengulurkan tangannya ke depan.
“ baik..” jawabku singkat sambil membalas jabatan
tangannya.
Ardy menatap lembut mataku sambil tersenyum. Tatapan
itu Tuhan, sudah lama aku tidak melihatnya. Ternyata aku masih merindukannya.
Sangat! Aku melepas tanganku digenggaman Ardy lalu mennunduk. Aku tidak sanggup
melihatnya lagi setidaknya untuk sekarang.
“ ya udah, qt
balik duluan ya Dis. Ntar aku kabarin lagi ya soal undangannya. Kamu harus
datang yaa.. “ suara Nuri mengagetkanku lalu dia memelukku sambil bercipika –
cipiki.
Aku melambaikan tanganku ketika sosok mereka berdua telah
mulai menjauh dari hadapanku, terus memperhatikan mereka hingga hilang dari
pandanganku. Mataku terasa panas. Tidak. Aku tidak boleh menangis disini.
Dadaku terasa sesak sekali. Aku kangen
kamu, Dy, kangen kita yang dulu.. bisikku pada diriku sendiri.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar