Selasa, 29 Oktober 2013

Untuk Cemburupun Aku Tak Berhak

Ini adalah kisah dimana saat itu aku memasuki tahun ketiga di Universitasku. Sebenarnya kisah ini tidak begitu istimewa, tapi bagiku kisah ini tidak sesederhana yang orang lain pikirkan. Kisah dimana aku pertama kali bertemu dengan dia, kisah yang tidak bisa aku pungkiri bisa merubah seluruh perasaanku.
Aku tidak tahu bagaimana aku bisa begitu tertarik dengannya. Kata teman-temanku dia sosok yang biasa saja. Tapi bagiku sosoknya tidak sesederhana yang mereka pikirkan. Ada sesuatu dalam dia yang entah aku tidak bisa jelaskan. Rasanya aku selalu ingin bertemu dengannya. Mengamati tiap detail wajahnya dan ingin selalu melihat lengkungan sempurna dibibirnya ketika dia sedang tersenyum. Manis.

Hari - hari terus berlalu diwarnai dengan pertemuan-pertemuan tak sengaja didalamnya. Seperti pada suatu hari ketika aku melangkah pelan menuju taman di kampusku. Aku tidak sengaja bertemu dengannya. Dia sedang duduk disalah satu kursi di pinggir taman dengan earphone dikedua telinganya. Sambil sesekali bersenandung pelan mengikuti irama lagu yang sedang dia dengarkan. Dia memamerkan senyumnya yang manis itu padaku dan mempersilahkanku untuk duduk. Ah, sopan sekali. Aku rasa dia tahu bagaimana caranya memperlakukan wanita dengan baik. Aku suka.

Dari hari ke hari aku rasa aku semakin akrab dengannya. Aku dan dia sering menghabiskan waktu bersama biarpun hanya sekedar makan siang bersama di kantin jika sedang tidak kuliah, ataupun sekedar minum kopi di luar kampus di cafe langganan kami. Tidak bisa dipungkiri lagi, aku semakin mengharap lebih darinya.

Suatu siang itu ketika aku baru selesai kuliah, dia mengajakku minum kopi ditempat langganan kami. Cafe yang terletak di samping kampus. Saat itu aku sudah menunggunya hampir setengah jam dari waktu yang dia tentukan. Di luar, hujan mulai turun dari yang tadi hanya rintik - rintik jarang berubah menjadi deras. Harum aroma tanah basah bisa tercium. Aku selalu suka bau khas tanah selagi hujan, mengasyikan.

Ketika asyik memperhatikan hujan, aku tak sadar dia sudah berdiri disampingku memukul pelan pundakku. Dia terlihat sedikit basah. Ada bercak - bercak air di bajunya Rambutnya yang basah ikut-ikutan terjuntai ketika dia sedikit memperbaiki bajunya. Aku menoleh dan tersenyum. Ternyata dia tidak datang sendiri. Dia bersama seorang wanita. Ah, dia cantik. Wanita itu bergelayut sangat manja dilengannya yang kokoh.

Dia memperkenalkan wanita itu sebagai...ah iya aku tidak salah dengar. Wanita cantik yang terseyum ke arahku itu benar kekasihnya. Pasangan yang serasi memang. Aku mencoba tersenyum tulus kepada wanita itu seraya menjabat tangannya memperkenalkan diri. Aku hanya bisa terpaku tanpa mengerjap. Ternyata laki-laki yang membuatku gila akhir-akhir ini sudah punya kekasih. Aku salah sudah berharap terlalu besar padanya, aku pikir, aku adalah satu-satunya wanita yang tengah dekat dengannya sekarang.

Aku adalah wanita yang kuat. Aku tidak gampang menangis. Tapi kenapa sekarang aku menjadi sensitif? Aku berusaha tersenyum, menanggapi lelucon - lelucon mereka. Ah, dia sama sekali tidak memperhatikan perubahan raut wajahku. Dia benar tidak menganggapku lebih dari teman selama ini. Aku ingin menangis, berteriak. Tapi untuk apa? Bukankah aku bukan siapa-siapa baginya? Bukankah aku tidak lebih dari sekedar teman baginya?

Lalu untuk apa aku bersedih? Untuk cemburupun aku tidak berhak :)


Rabu, 11 September 2013

Surat Ketiga Untuk Kamu

Sekarang pukul setengah delapan malam, udara di luar begitu dingin masuk melalui ventilasi kamar kostku.  Sejak tadi aku terpekur di sudut tempat tidur tidak ada yang dikerjakan, hanya duduk sambil mendengarkan beberapa lagu. Aku mengaku, aku sedang mendengarkan lagumu. Aku tidak tahu bahwa aku masih menyimpan lagu – lagumu itu, setelah mengacak lagu – lagu di leptopku lagumu itu ada di daftar lagu – lagu lama yang ingin aku hapus, tapi tidak untuk lagumu. Aku masih ingin menyimpannya. Kenangan kita dulu.

Sejak tadi aku memutar ulang lagu – lagu itu, lagu yang dulu pernah kau nyanyikan jika aku sedang bosan atau jika ku sedang marah padamu. Dengan santai kau memetik gitar kesayanganmu itu sambil menyanyikan sebuah lagu yang kau pernah bilang bahwa lagu itu kau ciptakan untukku. Aku sangat menyukai lagu itu. Benar, romantis. Perlahan aku menunjukkan sebuah senyuman lebar dan memintamu melanjutkan lagu itu dan kita bernyanyi bersama. Kau tahu, aku selalu malu jika kita bernyanyi bersama. Suaraku tidak sebagus suaramu. Tapi kau tetap memaksanya, kau bilang kalau kau dan bandmu itu suatu saat menjadi terkenal aku bangga karena pernah berduet dengan vokalisnya.

Jadi, kau sedang apa sekarang? Biasanya kau sedang menyanyi sambil memetik gitar di halaman rumahmu. Dan aku bisa mendengarnya dari rumahku. Kau pernah bilang bahwa jika kau bernyanyi dengan suara kerasmu itu kau ingin aku mendengarkannya bahwa kau sedang rindu. Kau bisa saja datang ke rumahku yang hanya beberapa langkah dari rumahmu, tapi kau tidak mau melakukannya karena kau tidak ingin mengganggu waktu belajarku. 

Aku masih ingat saat hari ulang tahunmu. Malamnya kau harus tampil di salah suatu acara. Kau mengajakku untuk menemanimu, dan setelahnya kita merayakan ulang tahunmu bersama. Tapi aku menolak. Kau marah padaku dan enggan mendengarkan alasanku. Aku biarkan saja, padahal aku sudah menyiapkan sebuah kejutan untukmu saat itu. Kau yang tidak menyangka akan diberi kejutan sangat kaget. Aku masih bisa menggambarkan ekspresimu saat itu. Aku masih ingat. Mungkin saat itu kau terlalu merasa bahagia sampai akhirnya kau menangis.

Aku masih ingat dengan jelas hal – hal menyenangkan dulu. Hal – hal yang mungkin sudah kau lupakan. Entahlah, aku tidak tahu perasaanmu saat ini. Tapi perasaanku tetap seperti yang dulu kepadamu. Dari jarak ratusan kilometer ini pun, aku masih diam-diam memperhatikanmu dari dunia maya. Iya, masih. Dan kau jelas tidak tahu. Dan sekali lagi hanya bisa menulis sebuah surat konyol, surat yang tidak akan pernah sampai padamu. Tapi aku senang melakukannya.

Aku masih berharap suatu saat, kau akan melihatku. Takdirmu.

Minggu, 08 September 2013

Untuk Penyebab Senyumku, Kamu.

Untuk penyebab senyumku,

Ada sejuta alasan mengapa aku begitu memujamu. Ketika kita saling menatap untuk pertama kali, waktu seakan berhenti. Sorot matamu itu tidak sederhana.  Aku merasa semesta memberikan senyum terbaiknya, menggetarkan jantung.  Untuk kita.


Untuk penyebab senyumku,

Kamu selalu menggoda hatiku untuk terus berbicara tentang cinta. Walaupun sebelumnya cinta membuatku begitu keras terhempas. Namun sekali lagi cinta datang tanpa pernah kuduga, menyusup perlahan dalam hati yang tengah rapuh. Memberikan penawar ajaibnya. Kamu.


Untuk penyebab senyumku,

Bahagiaku sesederhana itu. Sesederhana aku menghabiskan waktu duduk bersamamu, melihat senja. Menghabiskan waktu mengitari kota tanpa arah dan tujuan, bersama. Menikmati tiap detak sang waktu yang terus berlalu.  Aku menikmatinya dan tersenyum diam – diam ketika mengingatnya. Bukankah tanda-tandanya sudah jelas? Aku telah jatuh cinta, Kepadamu.


Untuk penyebab senyumku,

Semua ini masih tentangmu. Dalam semua pagi ketika terbangun aku masih bisa mendengar suaramu, meskipun dari jarak jauh. Semua siang yang kuhabiskan dengan tidak bosan mengeja namamu dalam rindu. Semua malam yang kututup dengan selalu berucap harap demi kebersamaan hingga waktu berhenti berdetak dan kita kembali kepelukanNya. 

Untuk penyebab senyumku,

Dengan benar aku menuliskan namamu disini. Di hatiku. Aku mencintaimu. Tanpa koma.